Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 08 Maret 2015

cerpen

Di Balik Senja



“ Sebut satu kata” kata Raka kepadaku.
“ Hemm..api” jawabku spontan. Raka mengambil buku ekonomiku kemudian menuliskan sesuatu. Haiss.. dia mengangguku, padahal tugas ekonomiku belum selesai.
“  Raka balikin!” kataku mencoba merebut buku yang dia pegang, tapi dia malah mengangkat buku itu tinggi-tinggi, aku pasti kalah. Tinggi badannya jauh dari tinggi badanku. Tinggiku hanya sebatas bahunya.
“  Huusss.. Entar dulu” jawabnya sambil mengambil tempat disampingku. Aku mencoba mengintip apa yang sedang dia tulis, tapi nihil dia menutup-nutupi sampai aku tak bisa melihat walau sedikit saja.
“ jangan dibuka sebelum pelajaran ekonomi di mulai, mengerti ?” katanya. Jawabku hanya anggukan kepala yang artinya mengerti.
 ‘Teeeeeetttttttt.......’ (bunyi bel masuk sekolah)
Tak terasa bunyi pelajaran sekolahpun berbunyi, tak lama guru ekonomiku datang. Aku menatap Raka yang kembali duduk dibangkunya, apa sebenarnya yang dia tulis ?, coretan-coretan yang  tak berguna ataukah pernyataan cintanya. Aissh ... itu membuat pipiku merona dan senyum-senyum sendiri sambil memeluk buku ekonomiku, Raka inilah rasanya jatuh cinta.  Hatiku berdetak tak karuan, tanganku bergetar, rasanya tak sanggup untuk melihat apa yang rasa tuliskan. Dengan perlahan aku buka buku ekonomiku. Dan ku temukan halaman itu.
Api
Seperti api yang menghangatkan tubuhku ketika senyummu berhias dibibirmu. Tapi api juga dapat membakarku, ketika aku bersanding denganmu. Andai api dapat ku padamkan tapi terlambat karena semua telah membakarku.
Tak terasa butir airmataku menetes, Raka kenapa kita harus begini ? aku mengerti apa yang dia maksud dalam sebait puisi ini. Dia yang begitu mencintai sastra hanya bisa menggungkapkan perasaannya lewat kata. Aku menoleh mencari keberadaannya, dia yang duduk dibelakang hanya memberiku seuntas senyum penuh makna. Entahlah aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku tak fokus mendengarkan apa yang dibicarakan guru ekonomiku tentang bab manajemen, pikiranku tertuju dengan puisi yang baru saja ditulis Raka.
“ Cha ?” aku menoleh namaku dipanggil, ternyata Zia teman sebangkuku memanggilku.
“ Ada apa Zi ?” tanyaku
“ Kamu dipanggil B. Weny ke depan tu.” Jawabnya
Aku melangkahkan kakiku ke depan menemui guru ekonomiku, ternyata aku disuruh menjelaskan kembali apa yang beliau terangkan, alhasil aku hanya bengong tak tahu harus berbuat apa. Sejak awalkan aku tidak mendengarkan apa yang beliau jelaskan.
Disinilah akhirnya aku , dihukum untuk merangkum buku ekonomi yang tebalnya dapat membuat orang sehat menjadi muntah. Begitu banyak kata-kata yang tak aku mengerti, membuat otakku penuh, semua ini gara-gara Raka.
Dari balik badanku aku melihat sekaleng minuman bersoda disodorkan padaku, ternyata Raka. Kenapa dia ada disini, bukannya masih ada jam dikelas, ah.. aku tak melihat jam ternyata ini sudah menunjukkan jam istirahat.
“ Cha kamu gak capek ? kamu tadi kenapa sih , tumben gak memperhatikan pelajaran ? “ katanya. Hanya ku jawab dengan gelengan kepala aku sedang malas untuk menjawab pertanyaannya, pahadal aku ingin berkata bahwa semua ini karena dia, tapi kata-kata itu hanya sampai ditenggorokanku tak bisa aku utarakan. Aku melirik dia, terlihat frustasi pertanyaannya tak ku jawab , dan akhirnya dia hanya memainkan polpenku sambil diputar-putar tak jelas sambil bergerutu dengan lucu. Sebenarnya melihat dia seperti ini membuatku ingin tertawa, tapi teringat puisi yang tadi membuat kembali mengurungkan niatku untuk tertawa.
“ Baiklah kalau kamu memang tidak mau diganggu, tapi ingat nanti pulang sekolah jangan lupa untuk datang ke taman bermain, anak-anak sudah menanti kehadiran kita. “ katanya sambil melangkah pergi meninggalkan perpustakaan yang mulai sepi. Bel masuk pun berbunyi, aku malas untuk melangkahkan kakiku ke kelas, pasti yang kupikirkan adalah puisi Raka. Ahh.. itu membuatku tak semangat sama sekali. Dengan berat hati kau langkahkan kakiku menuju kelas, selama menuju kelas pikiran melayang kemana-mana, mulai dari pertemuanku dengan Raka disebuah taman kecil dibelakang komplek rumahku. Dia adalah tetangga baru komplek rumahku pindahan dari luar kota. Sewaktu ku melihatnya dia sedang membacakan dongeng kepada anak-anak yang biasa bermain di taman itu. Dan baru ku tahu juga ternyata dia adalah teman sekolahku. Pada hari itu juga kami dekat, sering belajar dan bermain bersama. Dug, ah kepalaku terbentur tiang, aish ini karena aku melamun, lebih baik aku cepat masuk kelas saja. Apa lagi sekarang pelajaran guru killer.
“ Ayo, ayo berbaris, lalu berhitung di mulai dari sana” kata Raka dengan lantang. Aku baru sampai ditaman ini ah rasanya tak ada semangat untuk berada disini tapi apa daya ini sudah menjadi tanggung jawabku.
“ Kak Acha cepat kesini, ayo kita bermain bersama” kata anak kecil disebelahku, ku jawab dengan anggukan. Dan akhirnya aku lewatkan siang ini dengan mengajari mereka bersama , melihat mereka tertawa dengan lepasnya sedikit mengurangi beban yang ku rasa. Tak tersa hari sudah sore senja pun mulai tampak. Ah ini yang suka, duduk di taman menghadap barat dan melihat semburat senja dan matahari mulai merangkak dengan perlahan menuju singgasananya.
“Senja , pergantian siang malam, memberi kesan damai nan menentramkan hati” Kata Raka yang tiba-tiba duduk di sampingku. “ aku gak tahu kenapa kamu suka senja? Padahal sehabis senja yang terlihat adalah gelap yang menakutkan?” entahlah apa yang dia bicarakan. “ aku juga tak tahu, yang ku tahu walau gelap tapi akan bersinar dengan gemerlap bintang.” Jawabku seadanya
“ Maaf cha kalau selama ini aku seperti gantung perasaanmu, tapi kita tahu bahwa kita tak bisa bersama, terlalu banyak hal yang tak sama.” Aku hanya bisa merasakan airmataku menetes, hatiku sakit, apa yang dia bicaran semua benar.
“ Lebih baik kita seperti dulu saja, tanpa ada rasa diantara kita. Mungkin dengan sendiri-sendiri kita lebih baik. Ah.. sepertinya aku sudah terlalu panjang bicara. Wah matahari pun sudah tenggelam, lebih baik kita pulang sekarang.” Katanya sambil berdiri, aku masih termenung di kursi ini. Aku melihat dia sudah jauh dari pandanganku, hilang di balik tembok taman.
Flashback off
Bayangan tentang Raka masih tersimpan rapi dalam otak kecil ini. Aku masih disini Raka, senja ini pun masih setia menemaniku. Tak terasa sudah hampir 1 tahun kita berpisah tanpa kabar. Senja ini pun masih mengingatkanku tentang pertemuan terakhir kita disini. Air mata yang ku tahan selama ini, akhirnya menetes jua. Senja pun yang menggantikan hadirmu memberi cahaya semangat dalam hariku. Lebih baik aku pulang. Tunggu apa itu, ku lihat sepucuk surat warna merah muda dari dalam tasku, sepertinya aku tidak pernah melihat surat di dalam tasku. Ya aku ingat terakhir kali aku memakai tas ini sewaktu pertemuan terakhir dengan Raka, atau jangan-jangan ini surat dari Raka. Perlahan mulai ku buka surat ini.
Ku coba hilangkan dirimu dalam benakku, tapi wajah manismu selalu menghantuiku
Ku coba buka lembaran baru tanpamu, tapi rasa kesepian selalu menghampiri malamku
Ku tau jalan ini memang salah, tapi apakah hatiku juga salah?
Kau yang selalu hadir dalam membawa cerita dan kecerian untukku
Mimpi ini angan ini akan selalu ada di relung hatiku
                                                                                                -raka-


0 komentar:

Posting Komentar