Di Balik Senja
“ Sebut satu kata” kata
Raka kepadaku.
“ Hemm..api” jawabku
spontan. Raka mengambil buku ekonomiku kemudian menuliskan sesuatu. Haiss.. dia
mengangguku, padahal tugas ekonomiku belum selesai.
“ Raka balikin!” kataku mencoba merebut buku
yang dia pegang, tapi dia malah mengangkat buku itu tinggi-tinggi, aku pasti
kalah. Tinggi badannya jauh dari tinggi badanku. Tinggiku hanya sebatas
bahunya.
“ Huusss.. Entar dulu” jawabnya sambil mengambil
tempat disampingku. Aku mencoba mengintip apa yang sedang dia tulis, tapi nihil
dia menutup-nutupi sampai aku tak bisa melihat walau sedikit saja.
“ jangan dibuka sebelum
pelajaran ekonomi di mulai, mengerti ?” katanya. Jawabku hanya anggukan kepala
yang artinya mengerti.
‘Teeeeeetttttttt.......’ (bunyi bel masuk
sekolah)
Tak terasa bunyi
pelajaran sekolahpun berbunyi, tak lama guru ekonomiku datang. Aku menatap Raka
yang kembali duduk dibangkunya, apa sebenarnya yang dia tulis ?,
coretan-coretan yang tak berguna ataukah
pernyataan cintanya. Aissh ... itu membuat pipiku merona dan senyum-senyum
sendiri sambil memeluk buku ekonomiku, Raka inilah rasanya jatuh cinta. Hatiku berdetak tak karuan, tanganku bergetar,
rasanya tak sanggup untuk melihat apa yang rasa tuliskan. Dengan perlahan aku
buka buku ekonomiku. Dan ku temukan halaman itu.
Api
Seperti
api yang menghangatkan tubuhku ketika senyummu berhias dibibirmu. Tapi api juga
dapat membakarku, ketika aku bersanding denganmu. Andai api dapat ku padamkan
tapi terlambat karena semua telah membakarku.
Tak terasa butir
airmataku menetes, Raka kenapa kita harus begini ? aku mengerti apa yang dia
maksud dalam sebait puisi ini. Dia yang begitu mencintai sastra hanya bisa
menggungkapkan perasaannya lewat kata. Aku menoleh mencari keberadaannya, dia
yang duduk dibelakang hanya memberiku seuntas senyum penuh makna. Entahlah aku
tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku tak fokus
mendengarkan apa yang dibicarakan guru ekonomiku tentang bab manajemen,
pikiranku tertuju dengan puisi yang baru saja ditulis Raka.
“ Cha ?” aku menoleh
namaku dipanggil, ternyata Zia teman sebangkuku memanggilku.
“ Ada apa Zi ?” tanyaku
“ Kamu dipanggil B.
Weny ke depan tu.” Jawabnya
Aku melangkahkan kakiku
ke depan menemui guru ekonomiku, ternyata aku disuruh menjelaskan kembali apa
yang beliau terangkan, alhasil aku hanya bengong tak tahu harus berbuat apa.
Sejak awalkan aku tidak mendengarkan apa yang beliau jelaskan.
Disinilah akhirnya aku
, dihukum untuk merangkum buku ekonomi yang tebalnya dapat membuat orang sehat
menjadi muntah. Begitu banyak kata-kata yang tak aku mengerti, membuat otakku
penuh, semua ini gara-gara Raka.
Dari balik badanku aku
melihat sekaleng minuman bersoda disodorkan padaku, ternyata Raka. Kenapa dia
ada disini, bukannya masih ada jam dikelas, ah.. aku tak melihat jam ternyata
ini sudah menunjukkan jam istirahat.
“ Cha kamu gak capek ?
kamu tadi kenapa sih , tumben gak memperhatikan pelajaran ? “ katanya. Hanya ku
jawab dengan gelengan kepala aku sedang malas untuk menjawab pertanyaannya,
pahadal aku ingin berkata bahwa semua ini karena dia, tapi kata-kata itu hanya
sampai ditenggorokanku tak bisa aku utarakan. Aku melirik dia, terlihat
frustasi pertanyaannya tak ku jawab , dan akhirnya dia hanya memainkan polpenku
sambil diputar-putar tak jelas sambil bergerutu dengan lucu. Sebenarnya melihat
dia seperti ini membuatku ingin tertawa, tapi teringat puisi yang tadi membuat
kembali mengurungkan niatku untuk tertawa.
“ Baiklah kalau kamu
memang tidak mau diganggu, tapi ingat nanti pulang sekolah jangan lupa untuk
datang ke taman bermain, anak-anak sudah menanti kehadiran kita. “ katanya
sambil melangkah pergi meninggalkan perpustakaan yang mulai sepi. Bel masuk pun
berbunyi, aku malas untuk melangkahkan kakiku ke kelas, pasti yang kupikirkan
adalah puisi Raka. Ahh.. itu membuatku tak semangat sama sekali. Dengan berat
hati kau langkahkan kakiku menuju kelas, selama menuju kelas pikiran melayang
kemana-mana, mulai dari pertemuanku dengan Raka disebuah taman kecil dibelakang
komplek rumahku. Dia adalah tetangga baru komplek rumahku pindahan dari luar
kota. Sewaktu ku melihatnya dia sedang membacakan dongeng kepada anak-anak yang
biasa bermain di taman itu. Dan baru ku tahu juga ternyata dia adalah teman
sekolahku. Pada hari itu juga kami dekat, sering belajar dan bermain bersama.
Dug, ah kepalaku terbentur tiang, aish ini karena aku melamun, lebih baik aku
cepat masuk kelas saja. Apa lagi sekarang pelajaran guru killer.
“ Ayo, ayo berbaris,
lalu berhitung di mulai dari sana” kata Raka dengan lantang. Aku baru sampai
ditaman ini ah rasanya tak ada semangat untuk berada disini tapi apa daya ini
sudah menjadi tanggung jawabku.
“ Kak Acha cepat
kesini, ayo kita bermain bersama” kata anak kecil disebelahku, ku jawab dengan
anggukan. Dan akhirnya aku lewatkan siang ini dengan mengajari mereka bersama ,
melihat mereka tertawa dengan lepasnya sedikit mengurangi beban yang ku rasa.
Tak tersa hari sudah sore senja pun mulai tampak. Ah ini yang suka, duduk di
taman menghadap barat dan melihat semburat senja dan matahari mulai merangkak
dengan perlahan menuju singgasananya.
“Senja , pergantian siang
malam, memberi kesan damai nan menentramkan hati” Kata Raka yang tiba-tiba
duduk di sampingku. “ aku gak tahu kenapa kamu suka senja? Padahal sehabis
senja yang terlihat adalah gelap yang menakutkan?” entahlah apa yang dia
bicarakan. “ aku juga tak tahu, yang ku tahu walau gelap tapi akan bersinar
dengan gemerlap bintang.” Jawabku seadanya
“ Maaf cha kalau selama
ini aku seperti gantung perasaanmu, tapi kita tahu bahwa kita tak bisa bersama,
terlalu banyak hal yang tak sama.” Aku hanya bisa merasakan airmataku menetes,
hatiku sakit, apa yang dia bicaran semua benar.
“ Lebih baik kita
seperti dulu saja, tanpa ada rasa diantara kita. Mungkin dengan sendiri-sendiri
kita lebih baik. Ah.. sepertinya aku sudah terlalu panjang bicara. Wah matahari
pun sudah tenggelam, lebih baik kita pulang sekarang.” Katanya sambil berdiri,
aku masih termenung di kursi ini. Aku melihat dia sudah jauh dari pandanganku,
hilang di balik tembok taman.
Flashback
off
Bayangan tentang Raka
masih tersimpan rapi dalam otak kecil ini. Aku masih disini Raka, senja ini pun
masih setia menemaniku. Tak terasa sudah hampir 1 tahun kita berpisah tanpa
kabar. Senja ini pun masih mengingatkanku tentang pertemuan terakhir kita
disini. Air mata yang ku tahan selama ini, akhirnya menetes jua. Senja pun yang
menggantikan hadirmu memberi cahaya semangat dalam hariku. Lebih baik aku
pulang. Tunggu apa itu, ku lihat sepucuk surat warna merah muda dari dalam
tasku, sepertinya aku tidak pernah melihat surat di dalam tasku. Ya aku ingat
terakhir kali aku memakai tas ini sewaktu pertemuan terakhir dengan Raka, atau
jangan-jangan ini surat dari Raka. Perlahan mulai ku buka surat ini.
Ku
coba hilangkan dirimu dalam benakku, tapi wajah manismu selalu menghantuiku
Ku
coba buka lembaran baru tanpamu, tapi rasa kesepian selalu menghampiri malamku
Ku
tau jalan ini memang salah, tapi apakah hatiku juga salah?
Kau
yang selalu hadir dalam membawa cerita dan kecerian untukku
Mimpi
ini angan ini akan selalu ada di relung hatiku
-raka-
0 komentar:
Posting Komentar